Perdamaian dalam Perspektif al-Qur'an

 PERDAMAIAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN



Makalah
Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Tafsir Sosial
Dengan dosen pembimbing Yusran, S. Ag., M. Th. I.

Oleh:
FARID INDRA ARIANTO
NIM: 30300112015
MASYITA
NIM: 30300112056


JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2013




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
 
      Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam yang merupakan wahyu Allah shubhanahu wata’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang dibawa oleh malaikat Jibril dengan lafaz dan makna yang benar agar menjadi hujjah atas kerasulannya, yang menjadi pedoman bagi manusia dalam kehidupannya untuk mewujudkan keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah shubhanahu wata’ala, dalam surah al-Baqarah [2]: 185.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
 
Terjemahannya:
(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramad}an, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditunggilkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

      Sudah menjadi kebutuhan utama bagi setiap manusia kapan dan di manapun dia berada, yaitu kebutuhan hidup damai, bahagia, aman, akrab antara satu dengan yang lain. Demikian pula saling tolong-menolong dalam kebaikan di antara sesama mereka. Kebutuhan hakiki seperti ini sebenarnya menjadi harapan dan dambaan utama bagi masyarakat, karena dalam semua hal akan memberi dampak positif bagi kelangsungan hidup mereka.

      Al-Qur’an sebagai pedoman tentunya mengajarkan beberapa hal yang penting dalam kehidupan setiap muslim, salah satu konsep yang diajarkan dalam al-Qur’an adalah Perdamaian. Dan kemudian, makalah ini akan membahas perdamaian dalam perspektif al-Qur’an.
 
B. Rumusan Masalah

     1. Bagaimana pengertian perdamaian ?
     2. Bagaimana deskripsi ayat-ayat al-Qur’an tentang perdamaian ?



                                                                          BAB II
                                                                  PEMBAHASAN

A. Pengertian Perdamaian dan Ruang Lingkupnya

      Secara etimlogi kata damai di dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan: 1) tak ada perang, aman, tidak ada kerusuhan; 2) tenteram, tenang; 3) keadaan tidak bermusuhan, rukun. Istilah kedamaian erat kaitannya dengan masalah hubungan  manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan lingkungan dan hungan manusia dengan Tuhan. Kata damai dalam bahasa Arab yaitu (salam) berarti selamat, sejahtera, damai dan bahagia. Sedangkan dalam bahasa Ibrani damai berasal dari kata salom, kata ini dalam Perjanjian Lama digunakan untuk “keadaan sejahtera, bebas dari bahaya, sehat tidak kurang apa-apa. Kedamaian dikenal juga dalam ranah Inggris yaitu dari kata salvation yang memiliki arti keselamatan. Jadi konsep damai dalam Islam maupun non-islam mengandung arti yang sama yakni selamat, sejahtera, dan tidak cacat.
 
B. Deskripsi Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Perdamaian 
      Secara etimologi term kedamaian sinonim dengan term keselamatan. Term damai diambil dari kata  الصلح (al-sulhu), Sedangkan term damai dalam kesetaraannya dengan kata keselamatan adalah السلم (al-Sulmu). Di dalam al-Qur’an kata silmun dan yang seakar dengannya disebut sebanyak 157 kali, yang berada pada 140 ayat, di 40 surat, yaitu: Surat al-Baqarah [2]: 71, 102, 112, 128, 131, 132, 133, 136, 208, 233; Surat a>li ‘Imra>n [3]: 19, 20, 52, 64, 67, 80, 84, 85, 102; Surat al-Nisa>’ [4]: 65, 90, 91, 92, 94, 125, 163; Surat al-Ma>idah [5]: 3, 16, 44, 111; Surat al-An’a>m [6]: 14, 35, 54, 71, 84, 125, 127, 163; Surat al-A’ra>f [7]: 31, 46, 126; Surat al-Anfa>l [8]: 43, 61; Surat al-Taubah [9]: 74; Surat Yu>nus [10]: 10, 25, 72, 84, 90; Surat Hud [11]: 14, 48, 69; Surat Yu>suf [12]: 101; Surat al-Ra’ad [13]: 24; Surat Ibra>hi>m [14]: 23; Surat al-H{ajr [15]: 2, 46, 52; Surat al-Nahl [16]: 28, 32, 81, 87, 89, 102; Surat Maryam [19]: 15, 33, 47, 62; Surat T{aha [20]: 47; Surat al-Anbiya>’ [21]: 69, 78, 79, 81, 108; Surat al-H{ajj [22]: 34, 78; Surat al-Nu>r [24]: 27, 61; Surat al-Furqa>n [25]: 63, 75; Surat al-Syu’ara>’ [26]: 89; Surat al-Naml [27]: 15, 16, 17, 18, 30, 36, 38, 42, 44, 59, 81, 91; Surat al-Qas}as} [28]: 53, 55; Surat al-‘Ankabu>t [29]: 46; Surat al-Ru>m [30]: 53; Surat Luqma>n [31]: 22; Surat al-Ah}za>b [33]: 22, 35, 44, 56; Surat Saba’ [34]: 12; Surat Yasin [36]: 58; Surat al-S{affa>t [37]: 26, 79, 84, 103, 109, 120, 130, 181; Surat Sad [38]: 30, 34; Surat al-Zumar [39]: 12, 22, 43, 54, 73; Surat Gha>fir [40]: 66; Surat Fus}s}ilat [41]: 33; Surat al-Zukhruf [43]: 69, 89; Surat al-Ah}qa>f [4y6]: 15; Surat Muh}ammad [47]: 35; Surat al-Fath} [48]: 16; Surat al-H{ujura>t [49]: 14, 17; Surat Qaf [50]: 34; Surat al-Dza>riya>t [51]: 25, 36; Surat al-T{u>r [52]: 26, 38; Surat al-Wa>qi’ah [56]: 91; Surat al-H{asyr [59]: 23; Surat al-S{aff [61]: 7; Surat al-Tah}ri>m [66]: 5; Surat al-Qalam [68]: 35; Surat al-Jin [72]: 14; Surat al-Qadr [97]: 5. Sedangkan kata s}ulhun dan yang seakar dengannya disebut sebanyak 180 kali di dalam al-Qur’an, yang terdapat pada 168 ayat, di 55 surat, yaitu: Surat al-Baqarah [2]: 11, 25, 62, 82, 130, 160, 182, 220, 224, 228, 277; Surat a>li ‘Imra>n [3]: 36, 46, 57, 89, 114; Surat al-Nisa>’ [4]: 16, 34, 35, 57, 69, 114, 122, 124, 128, 129, 146, 173; Surat al-Ma>idah [5]: 9, 39, 69, 84, 93; Surat al-An’a>m [6]: 48, 54, 84; Surat al-A’ra>f [7]: 35, 42, 56, 73, 75, 77, 85, 142, 168, 170, 189, 190; Surat al-Anfa>l [8]: 1; Surat al-Taubah [9]: 75, 102, 120; Surat Yu>nus [10]: 4, 9, 81; Surat Hud [11]: 11, 23, 46, 61, 66, 88, 89, 117; Surat Yu>suf [12]: 9, 101; Surat al-Ra’ad [13]: 23, 29; Surat Ibra>hi>m [14]: 23; Surat al-Nahl [16]: 97, 119, 122; Surat al-Isra>’ [17]: 9, 25; Surat al-Kahf [18]: 2, 30, 46, 82, 88, 107, 110; Surat Maryam [19]: 60, 76, 96; Surat T{aha [20]: 75, 82, 112; Surat al-Anbiya>’ [21]: 75, 86, 90, 94, 105; Surat al-Anbiya>’ [21]: 94; Surat al-Hajj [22]: 14, 23, 50, 56; Surat al-Mu’minu>n [23]: 51, 100; Surat al-Nu>r [24]: 5, 32, 55; Surat al-Furqa>n [25]: 70, 71; Surat al-Syu’ara>’ [26]: 83, 142, 152, 227; Surat al-Naml [27]: 19, 45, 48; Surat al-Qas}as} [28]: 19, 27, 67, 80; Surat al-‘Ankabu>t [29]: 7, 9, 27, 58; Surat al-Ru>m [30]: 15, 44, 45; Surat Luqma>n [31]: 8; Surat al-Sajadah [32]: 12, 19; Surat al-Ah}za>b [33]: 31, 71; Surat Saba’ [34]: 4, 11, 37; Surat Fa>tir [35]: 7, 10, 15, 37; Surat al-S{a>ffa>t [37]: 100, 112; Surat al-Sa>d [38]: 24, 28; Surat Gha>fir [40]: 8, 40, 58; Surat Fus}s}ilat [41]: 7, 33, 46; Surat al-Syu>ra> [42]: 22, 23, 42; Surat al-Ja>s\i>yah [45]: 21, 30; Surat al-Ah}qa>f [46]: 15; Surat Muh}ammad [47]: 2, 5, 12; Surat al-Fath} [48]: 29; Surat al-H{ujura>t [49]: 9, 10; Surat al-Muna>fiqu>n [63]: 10; Surat al-Tagha>bun [64]: 9; Surat al-T{ala>q [65]: 11; Surat al-Tah}ri>m [66]: 4, 10; Surat al-Qalam [68]: 50; Surat al-Jin [72]: 11; Surat al-Ins\iqa>q 25; Surat al-Buru>j [85]: 11; Surat al-Ti>n [95]: 6; Surat al-Bayyinah [98]: 7; Surat al-‘As}r [103]: 3.

     Term keselamatan atau kedamaian dalam al-Qur’an sangat bervariasi, baik bentuk maupun maknanya. Motivasi penggunaan kata damai yang diinspirasi oleh term keselamatan karena dilihat dari makna secara umum, bahwa keselamatan adalah selamat dari bahaya dan damai sejahtera. Jadi orang yang memiliki rasa damai di dalam hati dan perbuatannya maka dengan sendirinya mereka akan mendapatkan keselamatan dalam hidup baik di dunia maupun di akhirat.

      Kedamaian atau keselamatan erat kaitannya dengan kata “Islam” yang berarti “tunduk” atau “menyerah”. Ibnu Taymiyah memberikan penjelasan makna “al-Islam”, yang dikutip oleh Abdullah dalam kitabnya, menerangkan bahwa “al-Islam” mengandung dua makna. Pertama, sikap tunduk dan patuh, jadi tidak sombong. Kedua, ketulasan dalam sikap tunduk kepada satu pemilik atau penguasa, seperti yang difirmankan Allah s}ubh}a>nahu wata’ala> dalam surat al-Zumar [39]: 29.

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ.
 
Terjemahannya:
Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
 
      Jadi orang yang berislam adalah orang yang taat kepada Tuhan, tidak musyrik, ia taat kepada hukum Tuhan. Hatinya selalu diliputi kedamaian, ketenangan dan memancarkan akhlak yang menyenangkan semua orang, dan menjadi rahmat bagi alam semesta.
 
      Dan selanjutnya penulis akan terfokus pada term kedamaian yang digunakan dalam bentuk صلح  atau yang seakar dengannya. Ayat yang akan dibahas oleh penulis adalah surat al-Nisa>’ [4]: 114.

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا.
 
Terjemahannya:
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
 
      Menurut Ahmad Mus}t}afa> dalam tafsirnya, menafsirkan kalimat:

"لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ..."
 
      Tidak terdapat kebaikan pada kebanyakan pembicaraan rahasia yang dilakukan oleh kelompok Tum’ah itu, yakni orang-orang yang hendak membantunya di dalam menuduh orang Yahudi; juga yang dilakukan oleh seluruh manusia. Akan tetapi dalam pembicaraan rahasia, kebaikan itu ada; seperti dalam menyeruh sedekah, berbuat yang ma’ruf, atau mengadakan perdamaian antara manusia. Dikatakan kebanyakan, karena di antara pembicaran-pembicaraan rahasia itu ada yang berkenaan dengan unsur-unsur khusus, seperti pertaniaan dan perdagangan. Dalam unsur-unsur seperti itu, pembicaraan tidak bersifat jahat, tidak pula dimaksud untuk kebaikan. Yang dimaksud dengan kebanyakan pembicaraan rahasia yang tidak mengandung kebaikan ialah yang berkenaan dengan unsur-unsur manusia. Oleh karena itu, dikecualikan dari padanya tiga perkara yang seluruhnya merupakan kebaikan bagi manusia.
 
      Al-Qur’an menyatakan, bahwa pembicaraan rahasia itu menjurus kepada perbuaatan dosa dan kejahatan. Oleh karena itu, Allah berfirman di dalam surat al-Muja>dalah [58]: 9, sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَنَاجَيْتُمْ فَلَا تَتَنَاجَوْا بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَتِ الرَّسُولِ وَتَنَاجَوْا بِالْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ.
 
Terjemahannya:
Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan berbuat durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan.
 
      Dikatakan, bahwa kebanyakan pembicaraan rahasia itu menjurus kepada kejahatan, karena menurut kebiasaan yang berlaku bahwa yang sering diperlihatkan dan dibicarakan orang di tengah-tengah orang banyak hanyalah kebaikan, sedangkan kejahatan dan dosa dibicarakan secara rahasia. Di dalam as\ar dikatakan:

الإثم ماحاك في الصدر وكرهت أن يطّلع عليه الناس.
 
Artinya:
Dosa adalah apa yang disembunyikan di dalam hati dan kamu tidak senang bila orang lain mengetahuinya.
 
      Dari pembicaraan-pembicaraan rahasia yang kebanyakan tidak mengandung kebaikan, Allah ta’ala> telah mengecualikan tiga perkara, karena kebaikan atau kesempurnaannya tergantung pada penyembunyiannya, serta dibicarakan dan dilakukan dengan saling membahu secara rahasia.

      Sedekah, umpamanya, merupakan suatu kebaikan. Tetapi jika di keluarkannya secara terang-terangan, kadangkala akan menyakiti orang yang diberi sedekah itu dan menghilangkan kehormatannya. Oleh karena itu Allah berfirman dalam surat al-Baqarah [2]: 271,

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ.
 
Terjemahannya:
Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

      Demikian pula perintah supaya mengerjakan yang ma’ruf hingga terdengar orang banyak, sering kali membuat orang diperintah itu merasa tersakiti. Lebih-lebih jika yang memerintah itu salah seorang kawannya, karena boleh jadi orang yang diperintah itu mengira bahwa temannya menyombongkan ilmu dan kelebihannya, serta menuduhnya sebagai orang yang picik atau jahil. Oleh karena itu, pembicara rahasia di dalam amar ma’ruf akan lebih dapat menghindarkan penyakitan terhadap orang lain. Demikian pula perintah supaya mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangkali menampakkan dan membicarakannya secara terang-terangan sering menimbulkan kejahatan atau keburukan. Barangkali anda telah melihat sebagian orang; apabila dia mengetahui bahwa perdamaian yang diminta darinya itu karena perintah si Fulan, maka dia tidak akan memenuhi dan menerimanya, atau dia tidak meridainya karena telah dibicarakan di hadapan orang banyak, dan dia mengetahui bahwa hal itu karena usaha pihak lain.

Rasulullah s}alla>lla>hu ‘alaihi wasallam bersabda:

يا أبا أيوب ألا أدلك على عمل يرضاه الله ورسوله ؟ قال : بلى قال : تصلح بين الناس إذا تفاسدوا وتقارب بينهم إذا تباعدوا.
 
Artinya:
“Hai Abu Ayyub, maukah kamu aku tunjukkan kepada suatu sedekah yang lebih baik bagimu dari pada kambing yang merah (masih muda)?” Dia menjawab, tentu ya Rasulullah. Beliau bersabda, “hendaknya kamu mendamaikan manusia, apabila mereka saling merusak; dan dekatkanlah mereka, apabila mereka saling menjauhi.”
 
Dan dalam suatu riwayat, menyebutkan bahwa:

و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولُ: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ قَالُوا بَلَى قَالَ إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ وَإِيَّاكُمْ وَالْبِغْضَةَ فَإِنَّهَا هِيَ الْحَالِقَةُ.
 
Artinya:
Telah menceritakan kepadaku dari Ma>lik dari Yahya> bin Sa’i>d ia berkata; “Aku mendengar Sa’i>d bin Musayyab berkata; ‘Maukah kalian kuberitahu dengan kebaikan yang lebih banyak daripada shalat dan zakat?” mereka menjawab, “Tentu.” Sa’i>d berkata, “Memperbaiki hubungan sesama dan jauhilah amarah karena itu adalah perusak dan pencabut agama.”
 
Dan lanjutan ayat:

"...وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا."
 
      Barang siapa melakukan ketiga perbuataan taat ini karena mengharapkan keridaan Allah, niscaya Allah memberinya pahala dan ganjaran yang besar. Keridaan Allah hanya akan diperoleh jika suatu perkara dilakukan dengan cara mendatangkankan kebaikan dan manfaat yang memang untuk itulah perkara tersebut disyari’atkan.

      Konsep perdamaian di dalam al-Qur’an dengan menggunakan kata s}ulhun dan yang seakar dengannya, di antaranya:


1. Perdamaian dalam lingkup diri sendiri

فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
 
Terjemahannya:
Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Ma>idah [5]: 39).
 
      Maka, barang siapa bertaubat dari para pencuri itu dan tidak lagi mencuri, setelah dia menganiaya diri sendiri dengan melakukan larangan Allah, yaitu mencuri harta orang lain; lalu dia memperbaiki dirinya dan mensucikannya dengan amal-amal kebajikan, maka Allah sungguh menerima taubatnya dan membalasnya dengan keridaan-Nya, mengampuni dan mengasihinya.
 
      Namun demikian, hukuman (had) tetap tidak gugur dari pencuri yang bertaubat, sebagaiamana taubatnya tidak dianggap sah kecuali dengan mengembalikan seluruh harta yang dia cari, yakni kalau harta itu sendiri masih ada. Dan jika sudah tidak ada lagi, maka wajib membayar harganya, apabila mampu.
 
      Dan juga di dalam firman Allah, menerangkan tentang orang yang beriman dan mengadakan perdamaian tidak ada rasa khawatir dalam hatinya,

وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ.
 
Terjemahannya:
Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS. al-An’a>m [6]: 48).
 

2. Perdamaian dalam lingkup suami-istri

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ.
 
Terjemahannya:
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah [2]: 228).
 
      Menurut Abu> al-H{asan ‘Ali>, bahwa kalimat "...إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا..." diartikan sebagai rujuk antara suami-istri dari talak. Sedangkan menurut al-Qusyairi>, menafsirkan kalimat tersebut, bahwa menjadikan maksud untuk kembali memperbaiki apa yang terjadi dari kesalahan, yang tidak memperpanjang masa ‘iddah terhadapnya (istri) karena bertujuan untuk mentalak dengan tidak rujuk kembali.

      Allah juga berfirman di dalam al-Qur’an,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (٣٤)وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (٣٥).
 
Terjemahannya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar  (34). Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (35). (QS. al-Nisa>’ [4]: 34-35).
 
      Dan juga terdapat dalam surat al-Nisa>’ [4]: 128-129, Allah berfirman:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (١٢٨) وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (١٢٩).
Terjemahannya:
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (128). Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (129).
 

3. Perdamaian dalam lingkup seIman atau seAgama

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (۹) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (۱۰).
 
Terjemahannya:   
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (9). Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (10). (QS. al-H{ujura>t [49]: 9-10).
 
Tafsir mufrada>t:

الطَائِفَ    : Banyak sedikitnya dari golongan tersebut, dengan dalil perkataan "...فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ..." (...mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang...).

فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا    : Mereka berdua sama-sama ingin membunuh atau mengancam, mencela dan menyiksa.

بَغَتْ    : Menduga dan menyimpang dari sesuatu.

تَفِيءَ    : Kembali.

أَمْرِ اللَّهِ    : Dia adalah perdamaian, karena sesungguhnya itulah yang diperintah, sebagaiamana dalam firman-Nya "وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ." (...dan perbaikilah perhubungan/berdamailah di antara sesamamu...).

فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ : Menjauhkan jejak pembunuhan dari sebab-sebab kerusakan yang tersembunyi. Menjadikan hukum yang seimbang sehingga menolong orang yang berselisih terhadap pembunuhan sesorang dengan yang lain.

وَأَقْسِطُوا    : Adil dalam setiap perkara yang satu dengan yang lain, dan merupakan sumber keadilan.
Di dalam “tafsi>r al-T{abari>”  kalimat "وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا..." diartikan dengan: "وإن طائفتان من أهل الإيمان اقتتلوا" (dan jika ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang), maka mendamaikannya lebih utama, dengan menggunakan hukum Allah.

4. Perdamaian dalam lingkup sesama manusia

وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا.
 
Terjemahannya:
Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda. (QS. al-Jin [72]: 11).
 
     Di dalam “tafsi>r al-T{abari>” kalimat "وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ..." dia adalah orang muslim yang melakukan ketaatan kepada Allah. Dan kalimat "...وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ..." diartikan menjadi "...ومنا دون الصالحين..." (dan diantara kami ada pula orang yang tidak saleh). Sedangkan kalimat "...كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا." Diartikan bahwa perbedaan yang mendalam, yaitu antara orang mu’min dengan orang kafir.
 
     Dan firman Allah dalam surat s}ad [38]: 24,

قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ وَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ.
 
Terjemahannya:
Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini." Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.
 
     Dan di dalam firman Allah, menjelaskan bahwa:

إِلَّا الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ جَاءُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَنْ يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلًا.
 
Terjemahannya:
Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka. (QS. al-Nisa>’ [4]: 90).

     Adapun di dalam hadits ialah seperti dalam hadits berikut ini yang berbicara tentang persoalan muamalah. Dari Amr bin ‘Auf Al Muzani radhiyallahu ‘anhu  dari Nabi s}allallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda”

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ ح و حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ أَوْ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ شَكَّ الشَّيْخُ عَنْ كَثِيرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ رَبَاحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ زَادَ أَحْمَدُ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا وَزَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ.
 
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Sulaima>n bin Da>wud al-Mahri>, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb, telah mengabarkan kepadaku Sulaima>n bin Bila>l. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Ah}mad bin Abdul Wahid al-Dimasyqi>, telah menceritakan kepada kami Marwa>n bin Muh}ammad, telah menceritakan kepada kami Sulaima>n bin Bila>l atau Abdul ‘Aziz bin Muh}ammad -Syeikh merasa ragu- dari Kas\ir bin Zaid dari Al Walid bin Rabah dari Abu> Hurairah ia berkata, “Rasulullah s}alla>lla>hu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perjanjian damai diperbolehkan di antara orang-orang Muslim.” Ahmad menambahkan, “kecuali perjanjian damai yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan yang halal.” Sedangkan Sulaiman bin Daud menambahkan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang Muslim terikat di atas syarat-syarat mereka.”
 
      Oleh sebab Na>s}ir al-Sa’di> mengatakan, “Apabila suatu perdamaian mengandung unsur pengharaman sesuatu yang dihalalkan atau penghalalan sesuatu yang diharamkan maka hukumnya tidak sah berdasarkan ketegasan teks hadis ini…”.

      Ini menunjukkan kepada kita bahwa ishlah (perdamaian) bukanlah demi mencari kepuasan kelompok atau demi menjaga nama baik golongan di mata orang. Akan tetapi ishlah ditegakkan di atas kebenaran. Ishlah yang paling agung adalah dengan menyatukan manusia di atas kalimat tauhid dan memerdekakan mereka dari penghambaan kepada sesembahan selain-Nya. Termasuk dalam ishlah yang sangat agung adalah mengajak umat Islam dari kelompok manapun untuk tunduk kepada Sunnah Nabi s}alla>lla>hu ‘alaihi wasallam dan melepaskan diri dari berbagai tradisi dan keyakinan bid’ah yang menodai kesucian syari’at Islam. Dan lebih luas lagi adalah melakukan perbaikan di atas muka bumi ini dengan melakukan berbagai bentuk ketaatan. Dan di antara bentuk ketaatan itu adalah mendamaikan sesama muslim yang bersengketa. Tentunya dengan cara yang benar dan memperhatikan norma-norma syari’at.

 

                                                                             BAB III
                                                                          PENUTUP
 
A. Kesimpulan 
      Damai adalah tak ada perang, aman, tidak ada kerusuhan, tenteram, tenang, keadaan tidak bermusuhan, rukun. Dan perdamaian merupakan salah satu sosial hubungan yang penting baik dikalangan Islam itu sendiri maupun di luar Islam.

      Di dalam al-Qur’an di jelaskan panjang lebar mengenai masalah perdamaian, dan kata سلم dan صلح , merupakan dua kata yang sering diartikankan dalam konteks perdamaian. Di dalam al-Qur’an, perdamaian juga dikaitkan dalam lingkup yang terkecil sampai yang lingkup yang luas yakni dari diri sendiri sampai kepada masyarakat.
 
B. Implikasi  
     Mudah-mudahan dengan kelahiran makalah ini dapat menambah pengetahuan kita mengenai sunah. Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Seperti masih ada pembahasan yang belum kami sampaikan yang terkait dengan materi yang telah ada dalam makalah ini. Hal ini dikarenakan terbatasnya kemampuan penulis. Serta masih ada banyak kekeliruan dan kesalahan. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya kritik dan saran yang membangun atau lainnya demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.





                                                            DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. Teologi Damai: Rekonstruksi Paradigmatik Relasi Kristen & Islam. Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012 M.
 
As}bah}i>, Ma>lik bin Anas Abu> ‘Abdullah. Muwat}a’ al-Ima>m Ma>lik. Mesir: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.
 
Azadi>, Sulaima>n bin al-Asy’as\ Abu> Da>wud al-Sijista>ni>. Sunan Abi> Da>wud. t.tp: Da>r al-Fikr, t.th.
 
Baghada>di>, Abu> al-H{asan ‘Ali> bin Muh}ammad bin Muh}ammad bin Habi>b al-Bas}ri>. al-Nakt wa al-‘Uyu>n. (CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah).
 
Ba>qi>, Muh}ammad Fu’a>d ‘Abdul. al-Mu’jam al-Mufahras li alfa>dz} al-Qur’a>n al-Kari>m. Kairo: Da>r al-H{adi>s\, 1428 H./2007 M.
 
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, t.th.
 
Echols, John M. and Hassan Shaldily. An English – Indonesian Dictionary. Cet. XXVI; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005 M.
 
Khalaf, Abdul Wahab. diterjemahkan oleh Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Thalchah Mansoer. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996 M.
 
Luth, Thohir. Masyarakat Madani: Solusi Damai dalam Peradaban. Cet. II; Jakarta: Mediacita, 2002 M.
 
Mara>ghi>, Ah}mad Mus}t}afa>. Tafsi>r al-Mara>ghi>. Cet. I; Mesir: Mus}t}afa> al-Ba>bi> al-H{ilabi>, 1365 H./1946 M.
 
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia. Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 M.
 
Qusyairi>. Tafsi>r al-Qusyairi>. (CD-ROM al-Maktabah al-Sya>milah).
 
Sa’di>, Abdurrahman bin Na>s}ir. Bahjah Qulu>b al-Abra>r wa Qurh ‘Uyu>n al-Akhya>r fi> 
Syarah} Jawa>mi> al-Akhya>r. Cet. IV; Saudi Arabiyah: Wiza>rah al-Sya’wan al-Isla>mi>yah wa al-Auqa>f, 1423 H.
 
T{abari>, Muh}ammad bin Jari>r bin Yazi>d bin Kas\ir bin Ghalib al-A>mali> Abu> Ja’far. Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n. Cet. I; t.tp: Muassasah al-Risa>lah, 1420 H./2000 M.
 
T{abra>ni>, Sulaima>n bin Ah}mad bin Ayyu>b Abu> al-Qa>sim. al-Mu’jam al-Kabi>r. Cet. II; Maus}ul: Maktabah al-‘Ulu>m wa al-Hikam, 1404 H./1983 M.
 
T{aya>lisi>, Sulaima>n bin Da>wud Abu> Da>wud al-Fa>rasi> al-Bas}ri>. Musnad Abi> Da>wud al-T{aya>lisi> (Beiru>t: Da>r al-Ma’rifah, t.th.
 
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 2005 M.

Komentar

Posting Komentar